Kicaunya yang merdu meninggi dan panjang yang kemudian merendah, diimbangi gerakak kepala ke kanan--ke kiri, ke atas dan ke bawah membuat para penggemar berlomba-lomba untuk memilikinya. Gerakan kepala itu mereka sebut teler. Gerakan itu dianggap bak seorang pemabuk. Para penggemar burung kicauan rela merogoh kocek dalam-dalam demi burung ini. Semakin bagus dan semakin lama burung itu mampu bertahan berkicau, ditambah semakin teler gerakannya, maka semakin mahal harga burung itu. Apalagi kalau burung tersebut sudah pernah memperoleh gelar juara dalam suatu kontes burung kicauan, maka harganya akan melambung tidak masuk akal. Harga normal burung yang sudah pandai berkicau dan teler berkisar antara Rp 1.000.000,- sampai sekitar Rp 1.500.000,-. Seorang penggemar yang juga setengah pedagang beberapa hari yang lalu menjual dua ekor burung jenis ini seharga Rp 2.600.000,-. Suatu harga yang tinggi menurut ukuran penulis. Sedangkan untuk seekor anakan yang baru mulai bisa makan sendiri dengan umur sekitar satu bulan dihargai Rp 750.000,-.
Itulah tingginya gengsi burung yang oleh sebagian besar masyarakat Jawa Timur disebut punglor. Sedangkan di Jawa Barat dan beberapa tempat yang lain sering disebut sebagai anis. Gambar yang tertera di atas dinamai punglor (anis) merah karena bulu kepala dan bulu bagian depan berwarna kemerahan (tepatnya: coklat). Sedang bulu punggungnya didominasi warna hitam dan bulatan yang berwarna lebih hitam. Untuk bulu sayapnya berwarna hitam dengan sedikit warna putih pada tekukan sayap. Ada sebagian masyarakat yang menyebut punglor (anis) merah ini dengan punglor bata, karena warnar utamanya mirip warna bata (batu merah).
Sebenarnya ada beberapa varietas dari jenis burung punglor ini. Varietas lain tersebut di antaranya punglor jali. Punglor jali ini ada juga yang menyebut dengan anis kembang. Ada pula punglor macan, punglor kopi, punglor mandarin, dan punglor cendana. Punglor jali atau anis kembang, bagian kepalanya berwarna coklat tua, punggung hitam, dan bagian depan (dada) berwarna putih bertotol-totol hitam. Warna punglor macan hampir mirip dengan punglor jali atau anis kembang. Bedanya, bercak-bercak hitam pada dadanya lebih besar. Ukuran badannya pun lebih besar. Punglor kopi berwarna utama hitam dengan di beberapa tempat berbulu putih. Menurut penuturan, punglor kopi ini dulu banyak ditemukan di sekitar perkebunan kopi. Sedang untuk punglor mandari didominasi warna coklat. Adapun untuk punglor cendana, warna bulu utamanya adalah coklat cerah dengan beberapa variasi putih.
Daerah persebaran burung ini hampir merata di wilayah Indonesia bagian Barat dan Nusa Tenggara, mulai dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Bali, dan beberapa pulau di Nusa Tenggara. Di habitatnya, burung-burung tersebut hidup dan bersarang di pohon-pohon tinggi. Mereka memakan berbagai macam serangga dan ulat. Tidak jarang mereka pun turun ke permukaan tanah yang lembab atau becek untuk mencari cacing. Umumnya burung-burung tersebut bertelur antara dua sampai tiga butir. Saat ini, burung punglong yang hidup di alam liar semakin langka. Kicauannya di tengah rimba sudah jarang terdengar. Terlebih di pulau Jawa. Pemangsa tingkat kedua dalam rantai makanan ini kehidupannya semakin terancam oleh para pemburu, walau saat ini sudah ada pihak yang sudah berhasil menangkarkannya. Para pengangkar itu umumnya menangkarkan punglor merah dan punglor jali atau anis kembang yang secara ekonomis memang paling mahal harganya, di samping paling mudah mendapatkannya. Para penangkar punglor kabarnya berada di Bali, Solo, Malang, dan Jakarta. Semoga hasil tangkarannya ada yang dilepasliarkan di habitat aslinya sehingga keseimbangan ekosistem itu dapat terjaga.
Senin, 25 April 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar